Rabu, 11 Agustus 2010

Macam-macam ideologi

Macam-macam Ideologi

MACAM-MACAM IDEOLOGI
Ideologi Liberalisme
Liberalisme berasal dari bahasa Latin Liber yang berarti bebas dan Isme yang berarti paham atau ajaran. Sehingga Liberalisme dapat diartikan sebagai paham atau ajaran yang mengagungkan kebebasasn individu.
Dalam ajaran liberalisme manusia pada hakikatnya adalah makhluq individu yang bebas, pribadi yang utuh dan lengkap serta terlepas dari manusia lainnya sehingga keberadaan individu lebih penting dari masyarakat. Dan fungsi Negara adalah untuk menjaga supaya kebebasan individu terjamin dalam mengejar tujuan-tujuan pribadinya, untuk masalah keyakinan atau agama pada Negara liberalisme menganut faham sekuler.
Ideologi Sosialisme dan Komunisme
Sosialisme adalah sebuah ideology yang menekankan akan kepemilikan bersama atas alat-alat produksi. Atau sebuah ideology yang mengagungkan atas kepentingan Negara diataskepentingan pribadi yang pada akhirnya akan tercipta Negara tanpa kelas dimana sarana-sarana produksi dimiliki secara bersama.
Kapitalisme
Adalah suatu system pegaturan proses produksi barang dan jasa melalui mekanisme harga dan pasar. Dan kesejahteraan akan tercapai jika setiap individu diberi kebebasan berusaha, dimana mereka saling berkompetisi di dalam pasar yang bebas dan Negara tidak boleh ikut campur di dalamnya.
Kapitalisme ini mempunyai cirri pokok sebagai berikut :
a. modal produksi dasar (tanah dan uang) dimiliki oleh individu
b. aktifitas ekonomi ditentukan oleh interaksi antara pembeli dan penjual dalam pasar
c. para pemilik modal dan para pekerja bebas untuk mengelola modal dan sumber produksi lainnya untuk mengahsilkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
d. Peranan Negara dalam ekonomi sangat terbatas.
Fasisme
Sebuah ideology yang berusaha menghidupkan kembali kehidupan social, ekonomi dan budaya dari Negara dengan berlandaskan pada asas nasionalisme yang tinggi, dengan cirri-ciri :
tidak setuju dengan kemapanan yang anti perubahan (konservatifme)
selalu mengangkat kembali kenangan kejayaan masa lalu
selalu muncul ketika Negara mengalami krisis
Pancasila
Pancasila sebagai dasar dan ideology Negara Indonesia
Asal mula Ideologi Pancasila dapat dibedakan menjadi 2 macam yakni :
Asal mula langsung (asal mula terjadinya Pancasila sebagai dasar Negara)
1. Kausa Matrialis (asal mula bahan)
Asal mula bahan merupakan sumber terbentuknya Pancasila sebagai ideology bangsa yang unsure-unsurnya diambil dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.
2. Kausa Formalis (asal mula Bentuk)
Mengandung konsep proses bgaimana bentuk Pancasila dirumuskan, yang ditandai dengan perumusan Pancasila yang dilakukan oleh Ir. Soekarno bersama anggota BPUPKI
3. .Kausa Efisien ( asal mula karya
Proses peralihan status Pancasila dari calon dasar Negara menjadi dasar Negara yang sah.
4. Kausa Finalis (asal mula tujuan)
Asal mula tujuan mengandung konsep cita-cita menjadikan Pancasila sebagai dasar negara
Asal mula tidak langsung
Adalah asal mula Pancasila sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, dengan penjabaran sebagai berikut :
1. Unsur-unsur Pancasila sebelum dirumuskan sebagai dasar falsafah bangsa adalah nilai-nilai yang terdiri dari nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan, yang kesemua itu telah tercermin dalam kehidupan masyarakat Indonesis sejak dahulu sebelum Negara Indonesia terbentu.
2. Nilai-nilai tersebut merupakan nilai adapt istiadat , nilai budaya dan nilai religius bangsa Indonesia.
3. Sehingga Hakikat Pancasila adalah sebagai pencerminan budaya, nilai, dan pemikirang bangsa Indonesia sendiri.
Jadi dapat dikatakan bahwa proses perumusan Pancasila pertama kali terjadi dalam sidang BPUPKI (dibentuk pada 29 April 1945 dan baru dilantik 28 Mei 1945) yang pertama dan yang menjadi pokok pembahasan adalah mengenai dasar Negara.
a. Sidang Pertama 29 Mei 1945 s.d 1 Juni 1945
Pada siding pertama ini materi sidang membahas tentang rancangan dasar Negara dengan menampung pendapat dari para tokoh yang duduk dalam BPUPKI, yakni antara lain :
1. Mr. Muh. Yamin (29 Mei 1945)
Melalui pidatonya beliau mengusulkan lima rancangan dasar Negara, yaitu ;
a) Peri kebangsaan
b) Peri Kemanusiaan
c) Peri Ketuhanan
d) Peri Kerakyatan
e) Kesejahteraan Rakyat
2. Mr. Soepomo ( 31 Mei 1945)
Beliau mengemukakan gagasannya tentang dasar Negara yang isinya :
a) Persatuan
b) Kekeluargaan
c) Keseimbangan lahir dan batin
d) Musyawarah
e) Keadilan rakyat
3. Ir. Soekarno ( 1 Juni 1945)
Usul beliau tentang dasar Negara rumusannya sebagai berikut :
a) Kebangsaan Indonesia
b) Internasionalisme atau perikemanusiaan
c) Mufakat atau demokrasi
d) Kesejahteraan social
e) Ketuhanan yang Maha Esa
4. Piagam Jakarta (22 Juni 1945)
Panitia kecil ini dibentuk pada tanggal 1 Juni 1945 dengan beranggotakan 9 orang yaitu :
1) Ir. Soekarno
2) Drs. Moh. Hatta
3) Mr. A. A. Maramis
4) Abikoesno Tjokrosoejoso
5) Abdoelkahar Muzakir
6) Haji Agus Salim
7) Mr. Ahmad Soebarjo
8) K.H. Wachid Hasyim
9) Mr. Muh. Yamin
Yang menghasilkan rumusan dasar Negara sebagai berikut :
a. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya
b. Dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
c. Persatuan Indonesia
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
e. (serta dengan mewujudkan) Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
Pada tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan dan dibentuk PPKI, dan sehari setelah kemerdekaan mengadakan siding yang menghasilkan keputusan sebagai berikut :
1. Menegsahkan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945
2. Memilih Ir. Soekarno sebagai Presiden RI
3. Memilih Drs. Moh. Hatta sebagai wakil Presiden RI.

Sebelum pengesahan UUD 1945, rumusan dasar Negara mengalami perubahan karena Negara bagian timur akan memisahkan diri jika pada sila pertama pembukaan tetap seperti isi dari piagam Jakarta. Maka atas usul Moh Hatta siding PPKI mengadakan perubahan pada sila pertama dengan meminta pendapat para pemuka agama Islam antara lain, Ki Bagus Hadikusumo, Wakhid Hasyim, Teuku Moh. Hasan, Kasman Singodimejo, dan akhir disepakati rumusan dasar Negara sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia

Bangsa Indonesia ber Pancasila dengan menganut asas Tri Prakara Yakni :
1. Asas kebudayaan, unsure-unsur Pancasila sebelum disakhan secara yuridis, sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai nilai-nilai adapt istiadat dan kebudayaan
2. Asas religius, unsure pancasila telah dilaksanakan dalam agama-agama
3. Asas Kenegaraan, Kemudian pancasila djadikan dasar filsafat Negara Indonesia yang disahkan oleh PPKI





Dimensi fungsi Pancasila
1. Pancasila sebagai jiwa dan Pandangan hidup bangsa Indonesia, bahwa Pancasila memberi petunjuk dan pedoman kehidupan bangsa Indonesia yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
2. Pancasila sebagai dasar Negara, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hokum, sehingga Pancasila menjadi sumber nilai, norma srta kaidah dalam penyelenggaraan Negara.
Pokok pikiran yang terdapat dalam dasar Negara :
a. pokok pikiran pertama adalah persatuan, Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan
b. pokok pikiran kedua adalah keadilan social,
c. Pokok pikiran ketiga adalah kedaulatan rakyat
d. Pokok pikan keempat adalah ketuhanan
3. Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia, Pancila menjiwai kepribadian dan sikap serta tingkah laku bangsa Indonesia yang menjadi cirri yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
4. Pancasila sebagaiperjanjian luhur bangsa Indonesia, Pancasila dirumuskan dan disepakati oleh tokoh-tokoh bangsa Indonesis, yang merupakan hasil kumpulan nilai-nilai dasar dan berakar dalam hati sanubari bangsa Indonesia.

Pancasila Sebagai ideology terbuka
Ideologoi terbuka adalah ideology yang dapat berinteraksi dengan perkembangan zaman, artinya bersifat actual, selalu berkembang, dan dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi. Keterbukaan Pancasila bukan berarti bangsa Indonesia membuka kemugkinan pengubahan nilai-nilai Pancasila tetapi keterbukaan terwakili dalam sifatnya yang eksplisit (tegas) dan kongkrit (nyata)

IDEOLOGI SOSIALISME


I. Ideologi Sosialisme
Apakah ideologi sosialisme itu? Ideologi sendiri berasal dari bahasa Yunani yakni idea (gagasan) dan logos (studi tentang, ilmu pengetahuan tentang). Idelogi artinya sistem gagasan yang mempelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis, politis dan sosial. Istilah “ideologi” dipergunakan oleh Marx dan Engels mengacu kepada seperangkat keyakinan yang disajikan sebagai obyek. Obyek tersebut tidak lain adalah pencerminan kondisi-kondisi material masyarakat.
Sosialisme sebagai ideologi, telah lama berkembang sejak ratusan tahun yang lalu. Sosialisme sendiri berasal dari bahasa Latin yakni socius (teman). Jadi sosialisme merujuk kepada pengaturan atas dasar prinsip pengendalian modal, produksi dan kekayaan oleh kelompok.
Istilah sosialisme pertama kali dipakai di Prancis pada tahun 1831 dalam sebuah artikel tanpa judul oleh Alexander Vinet. Pada masa ini istilah sosialisme digunakan untuk pembedaan dengan indvidualisme, terutama oleh pengikut-pengikut Saint-Simon, bapak pendiri sosialisme Prancis. Saint-Simon lah yang menganjurkan pembaruan pemerintahan yang bermaksud mengembalikan harmoni pada masyarakat.
Pada akhir abad ke-19, Karl Marx dan Friedrich Engels mencetuskan apa yang disebut sebagai sosialisme ilmiah. Ini untuk membedakan diri dengan sosialisme yang berkembang sebelumnya. Marx dan Engels menyebut sosialisme tersebut dengan sosialisme utopia, artinya sosialisme yang hanya didasari impian belaka tanpa kerangka rasional untuk menjalankan dan mencapai apa yang disebut sosialisme. Oleh karena itu Marx dan Engels mengembangkan beberapa tesis untuk membedakan antara sosialisme dan komunisme. Menurut mereka, sosialisme adalah tahap yang harus dilalui masyarakat untuk mencapai komunisme. Dengan demikian komunisme atau masyarakat tanpa kelas adalah tujuan akhir sejarah. Konsekwensinya, tahap sosialisme adalah tahap kediktatoran rakyat untuk mencapai komunisme, seperti halnya pendapat Lenin yang mengatakan bahwa Uni Sovyet berada dalam tahap sosialisme.
Dalam perkembangannya hingga pertengahan abad ke-20, sosialisme memiliki beberapa cabang gagasan. Secara kasar pembagian tersebut terdiri dari pertama adalah Sosialisme Demokrasi, kedua adalah Marxisme Leninisme, Ketiga adalah anarkisme dan sindikalisme [lihat tabel]. Harus diakui bahwa pembagian ini sangatlah sederhana mengingat begitu banyak varian sosialisme yang tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Sebagai contoh Marxisme yang di satu sisi dalam penafsiran Lenin menjadi Komunisme dan berkembang menjadi Stalinisme dan Maoisme. Disisi lain Marxisme berkembang menjadi gerakan Kiri Baru dalam pemahaman para pemikir seperti Herbert Marcuse di era 1970an. Sama halnya dengan anarkisme yang terpecah menjadi beberapa aliran besar seperti anarkisme mutualis dengan bapak pendirinya yakni P J Proudhon dan anarkis kolektivis seperti Mikhail Bakunin. Anarkisme juga memberi angin bagi tumbuhnya gerakan gerakan sindikalis yang menguasai banyak pabrik di Barcelona semasa Perang Saudara Spanyol 1936-1939.
Hingga saat ini, partai-partai Sosial Demokrat masih tetap berdiri seperti halnya di Eropa seperti Jerman, Belanda, Norwegia dan Prancis. Beberapa yang menganut sosialisme juga seperti halnya partai-partai buruh seperti di Inggris dan Itali. Partai-partai Komunis banyak yang membubarkan diri atau bertahan dengan berganti nama dan mencoba untuk tetap hidup dengan ikut pemilu di negara-negara Eropa Timur setelah runtuhnya Uni Sovyet. Beberapa diantaranya bahkan bisa berkuasa kembali seperti di Polandia dan Ceko dengan jalan yang demokratis.
Uraian diatas menimbulkan banyak pertanyaan diantara kita, apakah Marxisme sebagai dasar sosialisme yang mengklaim dirinya ilmiah masih layak dipakai? Bagaimanakah masa depan sosialisme nantinya? Bagaimanakah peran ideologi dalam sebuah perjalanan bangsa?
II. Kegagalan Marxisme
Banyak diantara para pemikir sosialis maupun praktisi gerakan gerakan sosialisme masih mengandalkan Marxisme sebagai dasar pemikiran maupun gerakannya. Ada yang menggunakan Marxisme secara kritis akan tetapi ada juga yang secara dogmatis memujanya habis habisan hingga saat ini. Kecenderungan kecenderungan demikian terjadi tidak hanya di negara-negara Eropa akan tetapi juga di negara-negara dunia ketiga sepertihalnya Indonesia. Di Eropa, Marxisme digunakan sebagai alat analisa pemikiran, artinya peran Marxisme lebih berlaku pada perdebatan-perdebatan intelektual filsafat dalam melahirkan berbagai varian varian baru. Sementara di negara-negara dunia ketiga dimana tingkat kegiatan praksis sosialisme lebih berjalan, Marxisme masih menjadi ideologi dasar dan terutama bagi mereka yang baru saja lepas dari kungkungan rezim otoriter militeristik dimana Marxisme masih memukau seperti ‘menemukan air ditengah dahaga ideologi’ dengan teori-teori pembebasannya.
Harus diakui bahwa hampir satu abad Marxisme memberi kontribusi baik maupun buruk yang tak terhingga kepada dunia. Marxisme memberi peringatan kepada kita tentang bahaya kapitalisme industri dan menyadarkan kita tentang pentingnya kebersamaan manusia secara kolektif.
Meski demikian, Marxisme gagal untuk membuktikan teori-teorinya dan gagal pula didalam tingkatan yang lebih kongkret. Bubarnya Uni Sovyet, yang dikatakan masih berada dalam fase sosialis menuju masyarakat komunis adalah kegagalan Marxisme pada tingkatan tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa Marxisme gagal baik secara teori maupun prakteknya.
Kegagalan teoritis Marxisme yang pertama adalah tentang teori nilai lebih. Marx menafisrkan kapitalisme dengan teori lebih kerja sebagai suatu sistem eksploitasi kelas buruh oleh kaum kapitalis. Kaum kapitalis menyimpan bagi dirinya sendiri nilai lebih itu yang dihasilkan oleh kaum pekerja. Akumulasi dan konsentrasi kekayaan dalam tangan kelompok kapitalis yang jumlahnya semakin kecil, bersama dengan hukum kemunduran tingkat keuntungan, menuju kepada kehancuran diri sistem eksploitasi tersebut. Pada akhirnya menurut Marx, akan terjadi pengambil alihan oleh kelas buruh. Artinya kelas buruh (proletariat) memegang kendali sarana produksi dan untuk membangun kediktaturan proletariat sebagai tahap awal transisi menuju masyarakat tanpa kelas. Hal ini gagal karena kapitalisme tidaklah menyusut hingga masa sekarang. Kapitalisme sendiri bisa menyesuaikan perkembangan dengan memberi tuntutan tuntutan buruhnya di bawah standar. Hal ini terlihat seperti di Indonesia, kaum pekerja terjebak dan larut dalam tuntutan tuntutan upah minimum yang memang di rekayasa olah para kapitalis. Kaum buruh pun tidak pernah terjadi untuk mengambil alih kepemilikan kaum kapitalis secara ekonomis mengingat faktor faktor sekunder seperti politik memang tidak pernah diperhitungkan secara jelas dalam Marxisme.
Kegagalan Marxisme yang kedua adalah klaim tentang sosialisme ilmiah itu sendiri. Marx memang menolak sosialisme bentuk lama yang dikatakan utopis dan mencoba memberi kerangka rasional dalam gagasannya. Akan tetapi Marxisme juga tenggelam dalam mimpi utopiannya sendiri tentang masyarakat tanpa kelas. Mengapa? Sebab penentuan cita-cita akhir, bagaimanapun hakekatnya bertentangan langsung dengan prinsip dialektis yang didengungkan oleh Marx sendiri.
Kegagalan Marxisme yang ketiga adalah pemahaman yang dilanjutkan oleh Lenin dan Stalin telah berubah menjadi suatu kolektivisme sempit. Produksi barang material tidak lagi diarahkan kepada peningkatan keberadaan personal, melainkan kepada pertumbuhan kekuasaan kolektif tersebut.
Bukti paling kongkret dari kegagalan kegagalan diatas adalah bubarnya negara Uni Sovyet yang selama 70 tahun lebih memakan korban jutaan warganya. Prinsip sosialisme sebagai kebersamaan sangatlah penting, meski demikian kita juga tidak bisa mengingkari hak hak azasi yang paling pribadi sebagai manusia dalam kerangka nilai etis. Fase kediktaturan proletarian yang sama otoriternya dengan fasisme jelas tidak bisa diterima bahkan oleh warganya sekalipun.
III. Kritik Anarkisme
Anarkisme sendiri sering disalahartikan sebagai kekacauan (chaos) yang berdampak penghancuran kepada masyarakat. Hal ini dimaklumi bahwa orang jarang mengenal gagasan-gagasan anarkisme yang dibawa oleh Pierre Joseph Proudhon, Mikhail Bakunin, Piotr Kropotkin dan lainnya. Ini disebabkan anarkisme memang bukan ideologi terstruktur seperti halnya sosialisme atau komunisme. Pada awal abad ke-19 anarkisme tumbuh dan menjadi lawan bagi Marxisme, karena klaim anarkisme yang libertarian berhadapan dengan Marxisme yang otoriterian. Baik anarkisme maupun Marxisme pada masa itu sepakat bahwa sebuah revolusi dibutuhkan untuk menumbangkan pemerintah borjuis. Akan tetapi para pengikut Marx menginginkan Negara digunakan sebagai sarana kediktaturan proletariat dan baru akan dibubarkan bila fase komunisme yakni masyarakat tanpa kelas sudah terwujud. Kaum anarkis justru menginginkan Negara harus dibubarkan sedari awal. Mereka berkeyakinan bahwa pengambil alihan kekuasaan dengan membiarkan Negara berdiri hanya akan melestarikan dan membuat kekuasaan yang jauh lebih sulit untuk ditumbangkan.
Pada tulisan ini, hanya akan dibahas kritik anarkisme terhadap demokrasi, khususnya seperti yang diungkapkan oleh George Woodcock dan Noam Chomsky pada dekade akhir abad 20. Menurut kaum anarkis, demokrasi adalah hal yang terbaik diantara semua yang terburuk. Demokrasi, kalau pun mau digunakan, haruslah dalam bentuk langsung dan partisipatoris. Artinya, demokrasi yang benar benar melibatkan seluruh peran warga masyarakat dalam menjalan fungsinya.
Ada beberapa kritik anarkisme terhadap demokrasi. Pertama, pemilu sebagai sarana demokrasi dianggap melenyapkan hak hak individu. Sebagai contoh, orang akan memilih wakil wakilnya yang tidak dikenal dan belum tentu menjalankan aspirasi si pemilih. Hal ini akan terus berulang dalam setiap pemilu berikutnya dan menjadi suatu kebiasaan yang buruk bagi kesadaran setiap orang. Oleh karena itu kaum anarkis menolak bentuk perwakilan (representation) dan menyukai bentuk pendelegasian bagi setiap keputusan atau kepentingan karena dirasa lebih menyeluruh.
Kritik kedua, demokrasi mengandung ancaman berupa kediktaturan mayoritas. Bagi kaum anarkis tidak ada jaminan bagi para pemeluk demokrasi terhadap golongan minoritas atau kelompok kecil. Hal ini seringkaliterjadi berupa pengabaian hak hak minoritas suara baik dalam bentuk populasi suku, agama, ras, maupun kebudayaan.
Kritik ketiga, demokrasi mengandung bahaya kongkret yakni diterimanya kembali kelompok-kelompok otoriterian seperti partai komunis untuk mendapat peluang menang secara demokratis dalam pemilu. Hal ini terbukti dalam pemilu di Polandia dan Ceko dimana partai komunis kembali memerintah dengan suara mayoritas. Jika demikian, ancaman yang akan terjadi adalah penumbangan demokrasi itu sendiri oleh kelompok-kelompok otoriterian.
IV. Masa Depan Indonesia

Dari tulisan diatas jelaslah sangat penting sebuah ideologi untuk bisa dipahami dengan kesadaran rasional dan dimiliki sebagai sebuah pijakan langkah kedepan bagi perkembangan sebuah masyarakat. Ideologi tidak bisa dipahami secara buta dan dogmatis, karena masyarakat terus berubah dan berkembang sesuai dengan situasinya baik secara subyektif maupun obyektif. Secara subyektif, kesadaran masyarakat memang harus dibangun. Problem di Indonesia untuk hal ini adalah pemahaman ideologi bukanlah di pelajari secara rasional, melainkan sekedar penerimaan warisan tradisi akan pergerakan politik yang mengatasnamakan ideologi. Orang lebih cenderung mengidentifikasi atau menolak dirinya sebagai sebuah penganut ideologi tertentu bukan karena ia belajar memahami nilai ideologi tersebutsecara rasional, melainkan karena faktor sejarah dan kepentingan yang lebih dominan terhadap dirinya. Demikian pula secara obyektif, problem yang ada dimasyarakat seperti saat ini tentunya juga butuh sebuah keyakinan yang kuat terhadap cita cita perubahan. Ideologi sebagai sebuah cita cita haruslah bisa diandalkan dan dipercaya untuk bisa memberi jalan terhapa permasalahan tersebut.
Maka meski dengan usia baru 100 tahun sejak para founding fathers seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir dan lainnya, Republik Indonesia boleh dibilang sangatlah miskin akan pemahaman ideologi yang berkelanjutan. Orang lebih senang melihat figur tertentu untuk tampil ke panggung politik bila dibandingkan tahu secara jelas pemikiran pemikiran macam apa yang dihasilkan oleh figur tersebut. Inilah yang disebut favoritisme, seperti halnya yang terjadi di Amerika Latin pada abad ke 19 dimana banyak junta militer jatuh bangun berkuasa silih berganti.
Sosialisme sebagai ideologi yang telah menjadi pilihan kita, tentunya juga harus dipahami dan dijalankan dalam konteks nalar yang rasional. Artinya, mengetahui dan meyakini sosialisme bukanlah sekedar memahami sejarah, mendogmakan pemikiran lampau dan enggan lepas dari pewarisan tradisi yang sudah ada. Sosialisme harus mampu menjawab berbagai tantangan perkembangan masyarakat dan zaman yang kini sedang terjadi. Seperti halnya problem lingkungan hidup, kemanusiaan, gender dan nilai etis moral lainnya yang pada dekade lalu belum dianggap sebagai suatu hal yang sangat penting. Oleh karena itu Sosialisme yang harus diperjuangkan adalah sosialisme yang benar-benar mengakui nilai nilai kemanusiaan, sosialisme yang benar-benar kerakyatan dalam arti mampu secara maksimal memberi rasa keadilan terhadap masyarakat dan sosialisme yang secara sungguh-sungguh tumbuh karena gagasan-gagasan mulia, bukan sekedar jargon masa lalu.
Sumbangan sosialisme tradisional seperti Marxisme dan kritik anarkisme terhadap demokrasi tentunya juga merupakan hal yang patut untuk diperhatikan. Demokrasi telah menjadi pilihan kita dan kita secara sadar paham segala kemungkinan penyimpangan-penyimpangannya. Penyalahgunaan kekuasaan, pengatasnamaan hukum, konflik kepentingan mayoritas–minoritas, adalah hal-hal yang telah tampak di depan mata. Indonesia memang sedang dalam masa transisi. Hal inilah yang harus benar benar dijaga dan diperhatikan agar perubahan yang sekarang terjadi tidak akan salah arah dalam proses berdemokrasi sebagai pelajaran pertama menuju masyarakat yang adil dan makmur.
T O P I K SOSIALISME DEMOKRASI MARXISME LENINISME ANARKISME &SINDIKALISME

Perubahan Sebuah perubahan dilakukan dengan cara bertahap (gradual) Sebuah perubahan dilakukan dengan cara drastis (revolusioner)
Sebuah perubahan dilakukan dengan cara drastis (revolusioner)
Cara melakukan Perubahan perubahan dilakukan dengan membentuk partai dan ikut ke dalam parlemen
Perubahan dilakukan dengan membentuk partai dan kediktaturan
Perubahan dilakukan dengan menolak partai dan Negara

Negara Negara dibutuhkan untuk menjamin fungsi keadilan Negara diterima sebagai fase sosialis dan dibubarkan dalam fase komunis
Negara ditolak dan tidak diperlukan
Pengawasan Masyarakat mengontrol Negara
Negara mengontrol Masyarakat Masyarakat mengontrol dirinya sendiri
Sistem Politik Parlementarian
Otoriterianisme
Libertarianisme

Massa Massa terdiri dari kader partai Massa dibentuk oleh kader partai yang bertindak sebagai pelopor
Massa adalah anonim dan bergerak atas inisiatif spontan

Demokrasi Demokrasi adalah cara mencapai tujuan sosialisme Demokrasi sebagai salah satu jalan revolusi sosialis menuju komunisme
Demokrasi ditolak sebagai wujud mayoritas otoriter
Individu Individu diikat tetapi tetap diberi ruang
Individu lebur kedalam kolektif Individu punya titik ekstrim tersendiri
Ekonomi Tema utama adalah keadilan sosial Tema utama adalah ekonomi terpimpin Tema utama adalah ekonomi secara praksis dan anti politik

Hukum Supremasi Hukum
Otoriter Anti Hukum
Tujuan Akhir Masyarakat Adil Makmur (welfare society) Masyarakat Tanpa Kelas Masyarakat Tanpa Negara

Ideologi Pragmatis

Liberalisme sebagai Ideologi Pragmatis



Dalam ilmu-ilmu sosial dikenal dua pengertian mengenai ideologi, yaitu ideologi secara fungsional dan secara struktural. Ideologi secara fungsional diartikan sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama; atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik, sedangkan ideologi secara struktural diartikan sebagai sistem pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa. Menurut pendekatan struktural konflik, kelas yang memiliki sarana produksi materiil dengan sendirinya memiliki sarana produksi mental, seperti gagasan, budaya dan hukum. Gagasan kelas yang berkuasa di manapun dan kapanpun merupakan gagasan yang dominan. Gagasan, budaya, hukum dan sebagainya sadar atau tidak merupakan pembenaran atas kepentingan materiil pihak yang memiliki gagasan yang dominan. Sistem pembenaran ini disebut ideologi.

Dalam bahasa Indonesia, ideologi sering disebut sebagai “dasar negara” atau “falsafah negara”, di Malaysia disebut “rukun negara”. Karena memberikan pengesahan kepada pemerintah, ideologi membenarkan adanya status quo. Tetapi ideologi juga bisa digunakan oleh pihak lainnya (pihak pemberontak, pihak oposisi atau pihak reformasi) guna menyalahkan pemerintahan, menyerang kebijakan pemerintah sampai kepada mengubah status quo. Sekalipun pemerintah bisa menindas warga negaranya dengan menggunakan dalih ”hak ketuhanan raja” atau ”kehendak sejarah”, tetapi pihak lainnya bisa membenarkan tindakan kekerasan mereka dengan bersandar pada prinsip ”hak-hak dasar” atau ”kehendak yang kuasa”. Ideologi yang dianggap sarat dengan kepentingan kelas pekerja bukan tidak bisa digunakan untuk menentang kekuasaan negara borjuis, selain juga untuk mensahkan kekuasaan diktator terhadap kelas pekerja. Ideologi dalam arti fungsional dapat digambarkan secara singkat dengan contoh berikut. Di Amerika Serikat, menjamin keamanan nasional berarti peningkatan produksi persenjataan yang bermakna pula menguntungkan industri-industri senjata. Peningkatan pertumbuhan pertanian berarti peningkatan produksi pupuk dan bahan kimia yang lain, yang berarti menguntungkan industri-industri pupuk dan bahan kimia. Demi stabilitas nasional di negara-negara berkembang acap kali berarti mengurangi kebebasan politik warga negara. Ideologi dalam arti fungsional digolongkan secara tipologi dengan dua tipe, yakni ideologi yang doktriner dan ideologi yang pragmatis.

Suatu ideologi dapat digolongkan doktriner apabila ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi itu dirumuskan secara sistematis dan terinci dengan jelas, diindoktrinasikan kepada warga masyarakat, dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau aparat pemerintah. Biasanya sistem nilai atau ideologi yang diperkenankan hidup dalam masyarakat seperti ini hanyalah ideologi yang doktriner tersebut. Akan tetapi, apabila ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi tersebut tidak dirumuskan secara sistematis dan terinci, melainkan dirumuskan secara umum (prinsip-prinsipnya saja) maka ideologi tersebut digolongkan sebagai ideologi pragmatis. Dalam hal ini, ideologi itu tidak diindoktrinasikan, tetapi disosialisasikan secara fungsional melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, sistem ekonomi, kehidupan agama dan sistem politik. Atas dasar itu, pelaksanaannya tidak diawasi oleh aparat partai atau pemerintah, melainkan dengan pengaturan kelembagaan. Maksudnya, siapa saja yang tidak menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi tidak akan hidup secara wajar. Liberalisme merupakan salah satu contoh ideologi pragmatis. Biasanya tidak satu ideologi saja yang diperkenankan berkembang dalam masyarakat ini, tetapi ada satu yang dominan.

Liberalisme sebagai suatu ideologi pragmatis muncul pada abad pertengahan di kalangan masyarakat Eropa. Masyarakat Eropa pada saat itu secara garis besar terbagi atas dua, yakni kaum aristokrat dan para petani. Kaum aristokrat diperkenankan untuk memiliki tanah, golongan feodal ini pula yang menguasai proses politik dan ekonomi, sedangkan para petani berkedudukan sebagai penggarap tanah yang dimiliki oleh patronnya, yang harus membayar pajak dan menyumbangkan tenaga bagi sang patron. Bahkan di beberapa tempat di Eropa, para petani tidak diperkenankan pindah ke tempat lain yang dikehendaki tanpa persetujuan sang patron (bangsawan). Akibatnya, mereka tidak lebih sebagai milik pribadi sang patron. Sebaliknya, kesejahteraan para penggarap itu seharusnya ditanggung oleh sang patron. Industri dikelola dalam bentuk gilde-gilde yang mengatur secara ketat, bagaimana suatu barang diproduksi, berapa jumlah dan distribusinya. Kegiatan itu dimonopoli oleh kaum aristokrat. Maksudnya, pemilikan tanah oleh kaum bangsawan, hak-hak istimewa gereja, peranan politik raja dan kaum bangsawan, dan kekuasaan gilde-gilde dalam ekonomi merupakan bentuk-bentuk dominasi yang melembaga atas individu. Dalam konteks perkembangan masyarakat itu muncul industri dan perdagangan dalam skala besar, setelah ditemukan beberapa teknologi baru. Untuk mengelola industri dan perdagangan dalam skala besar-besaran ini jelas diperlukan buruh yang bebas dan dalam jumlah yang banyak, ruang gerak yang leluasa, mobilitas yang tinggi dan kebebasan berkreasi. Kebutuhan-kebutuhan baru itu terbentur pada aturan-aturan yang diberlakukan secara melembaga oleh golongan feodal. Yang membantu golongan ekonomi baru terlepas dari kesukaran itu ialah munculnya paham liberal.

Liberalisme tidak diciptakan oleh golongan pedagang dan industri, melainkan diciptakan oleh golongan intelektual yang digerakkan oleh keresahan ilmiah dan artistik umum pada zaman itu. Keresahan intelektual tersebut disambut oleh golongan pedagang dan industri, bahkan hal itu digunakan untuk membenarkan tuntutan politik yang membatasi kekuasaan bangsawan, gereja dan gilde-gilde. Mereka tidak bertujuan semata-mata untuk dapat menjalankan kegiatan ekonomi secara bebas, tetapi juga mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Masyarakat yang terbaik (rezim terbaik), menurut paham liberal adalah yang memungkinkan individu mengembangkan kemampuan-kemampuan individu sepenuhnya. Dalam masyarakat yang baik, semua individu harus dapat mengembangkan pikiran dan bakat-bakatnya. Hal ini mengharuskan para individu untuk bertanggung jawab pada segala tindakannya baik itu merupakan sesuatu untuknya atau seseorang. Seseorang yang bertindak atas tanggung jawab sendiri dapat mengembangkan kemampuan bertindak. Menurut asumsi liberalisme inilah, John Stuart Mill mengajukan argumen yang lebih mendukung pemerintahan berdasarkan demokrasi liberal. Dia mengemukakan tujuan utama politik ialah mendorong setiap anggota masyarakat untuk bertanggung jawab dan menjadi dewasa. Hal ini hanya dapat terjadi manakalah mereka ikut serta dalam pembuatan keputusan yang menyangkut hidup mereka. Oleh karena itu, walaupun seorang raja yang bijaksana dan baik hati, mungkin dapat membuat putusan yang lebih baik atas nama rakyat dari pada rakyat itu sendiri, bagaimana pun juga demokrasi jauh lebih baik karena dalam demokrasi rakyat membuat sendiri keputusan bagi diri mereka, terlepas dari baik buruknya keputusan tersebut. Jadi, ciri-ciri ideologi liberal sebagai berikut :

  • Pertama, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang lebih baik.
  • Kedua, anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan berbicara, kebebasan beragama dan kebebasan pers.
  • Ketiga, pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas. Keputusan yang dibuat hanya sedikit untuk rakyat sehingga rakyat dapat belajar membuat keputusan untuk diri sendiri.
  • Keempat, kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk. Oleh karena itu, pemerintahan dijalankan sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah. Pendek kata, kekuasaan dicurigai sebagai hal yang cenderung disalahgunakan, dan karena itu, sejauh mungkin dibatasi.
  • Kelima, suatu masyarakat dikatakan berbahagia apabila setiap individu atau sebagian besar individu berbahagia. Walau masyarakat secara keseluruhan berbahagia, kebahagian sebagian besar individu belum tentu maksimal. Dengan demikian, kebaikan suatu masyarakat atau rezim diukur dari seberapa tinggi indivivu berhasil mengembangkan kemampuan-kemampuan dan bakat-bakatnya. Ideologi liberalisme ini dianut di Inggris dan koloni-koloninya termasuk Amerika Serikat.

Ideologi Singapura

Ideologi Singapura

Ideologi Singapura adalah Demokrasi dalam hal ini dilihat dari pembangunan ekonomi yang turut dikaitkan dengan tahap pendemokrasian dalam ertikata ekonomi yang lebih maju turut menyumbang kepada peningkatan tahap demokrasi yang diamalkan oleh sesebuah negara. Tesis yang popular ini dikemukakan oleh Lipset (1973). Lipset, ahli sosiologi politik yang tersohor, walau bagaimanapun melihat hubungan pembangunan ekonomi dan demokrasi berpandukan pengalaman masyarakat maju Barat yang homogen yang latarbelakang sejarah masyarakatnya jauh berbeza dari masyarakat membangun seperti Asia Tenggara.


Singapura mempunyai tahap ekonomi yang lebih maju berbanding Malaysia atau negara – negara lain di Asia Tenggara, tetapi ini tidak bermakna tahap pendemokrasiannya lebih tinggi dari Malaysia. Sungguh pun demokrasi Malaysia disifatkan sebagai ‘terhad’ atau ‘separuh matang’ (quasi) oleh sebahagian penganalisis politik, sifat masyarakatnya yang majmuk memungkinkan wujudnya politik pembangkang dan bangkangan yang agak kuat berbanding dengan apa yang berlaku di Singapura. Mungkin dari sudut tahap pendemokrasian, Myanmar berada di tangga yang tercorot atas hakikat negara ini masih mengamalkan pemerintahan ketenteraan. Thailand dan Indonesia yang pernah bereksperimentasi dengan pemerintahan ketenteraan nampaknya tidak menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi yang pesat. Vietnam, Laos dan Cambodia yang pernah dicengkam oleh pemerintahan komunis juga tidak mempamerkan pertumbuhan ekonomi yang memberangsangkan. Nampaknya negara seperti Malaysia dan seterusnya Singapura yang mewarisi sistem pemerintahan Inggeris yang membekalkan sistem birokrasi yang agak utuh dan sistem ekonomi yang ‘terbuka’ telah membekalkan prasarana yang baik bagi pertumbuhan ekonomi seterusnya. Sistem demokrasi yang lebih dicirikan oleh elemen autoritarianisme nampaknya telah mendorong wujudnya sistem politik yang relatif stabil dan sekaligus membekalkan persekitaran yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi. Suasana ini berlaku di Malaysia dan Singapura. Dari sudut pemikiran kepimpinan negara yang berkaitan, mungkin ini adalah pilihan terbaik bagi negara – negara Asia Tenggara iaitu pilihan yang menggabungkan amalan demokrasi dan autoritarianisme yang lahir dari acuan dan nilai tempatan dalam usaha mereka melangkah ke arah mencapai status negara maju.